Tuesday 16 February 2016

PENDEKATAN PROBLEM POSING

http://pendidikanuntukindonesiaku2.blogspot.com/2016/02/pendekatan-problem-posing.html
Pendekatan Problem Posing
Menurut Brown dan Walter dalam Alif dan Hamzah (2009: 4), pada tahun 1989 untuk pertama kalinya istilah problem posing diakui secara resmi oleh National Council of Teacher of Mathematics (NCTM) sebagai bagian dari national program for re-direction of mathematics education (program nasional reformasi pendidikan matematika). Selanjutnya istilah ini dipopulerkan dalam berbagai media seperti buku teks, jurnal serta menjadi saran yang konstruktif dan mutakhir dalam pembelajaran matematika.
Problem posing berasal dari bahasa Inggris, yang terdiri dari kata problem dan pose. Problem diartikan sebagai soal, masalah atau persoalan, dan pose yang diartikan sebagai mengajukan (Echols dan Shadily, 1990: 439 dan 448). Beberapa peneliti menggunakan istilah lain sebagai padanan kata problem posing dalam penelitiannya seperti pembentukan soal, pembuatan soal, dan pengajuan soal.
 
Suryanto dalam Alim dan Hamzah (2009: 5) mengemukakan bahwa “Problem posing merupakan istilah dalam bahasa Inggris, sebagai padanan katanya digunakan istilah ‘merumuskan masalah (soal)’ atau ‘membuat masalah (soal)’”. Sedangkan menurut Silver dalam Abdussakir (2009: 4-5) bahwa: Dalam pustaka pendidikan matematika, problem posing mempunyai tiga pengertian, yaitu: pertama, problem posing adalah perumusan soal sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana dan dapat dipahami dalam rangka memecahkan soal yang rumit (problem posing sebagai salah satu langkah problem solving). Kedua, problem posing adalah perumusan soal yang berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang telah dipecahkan dalam rangka mencari alternatif pemecahan lain (sama dengan mengkaji kembali langkah problem solving yang telah dilakukan). Ketiga, problem posing adalah merumuskan atau membuat soal dari situasi yang diberikan.
 
Sedangkan The Curriculum and Evaluation Standard for School Mathematics merumuskan secara eksplisit bahwa murid harus mempunyai pengalaman mengenal dan memformulasikan soal-soal (masalah) mereka sendiri. Lebih jauh The Professional Standards for Teaching Mathematics menyarankan hal yang penting bagi guru-guru untuk menyusun soal-soal mereka sendiri. Murid perlu diberi kesempatan merumuskan soal-soal dari hal-hal yang diketahui dan menciptakan soal-soal baru dengan cara memodifikasi kondisi-kondisi dari masalah-masalah yang diketahui tersebut (Alif dan Hamzah, 2009).
Terkait dengan situasi soal yang tersedia, Stoyanofa dalam Hajar (2001: 13) menjelaskan bahwa “menurut situasi yang tersedia, situasi Problem posing diklasifikasi menjadi situasi problem posing bebas, semi terstruktur dan terstruktur”. Pada situasi problem posing bebas, murid tidak diberikan suatu informasi yang harus dipatuhi. Murid diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk membentuk soal sesuai dengan apa yang dikehendaki. Murid bisa menggunakan fenomena dalam kehidupan sehari-hari sebagai acuan dalam pembentukan soal. Sedangkan untuk situasi yang semi terstruktur, murid diberi situasi atau informasi yang terbuka. Kemudian murid diminta untuk mencari/menyelidiki situasi tersebut dengan cara menggunakan pengetahuan yang telah dimiliki. Murid harus mengaitkan informasi tersebut dengan pengetahuan yang telah ia miliki selama ini. Situasi tersebut bisa berupa ganbar atau tabel mungkin bisa juga berupa cerita pendek. Adapun, situasi problem posing yang terstruktur, murid diberi masalah khusus (soal) atau selesaian dari soal. Kemudian berdasarkan hal tersebut, murid diminta untuk membentuk masalah/soal baru.
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dirumuskan pengertian problem posing adalah perumusan atau pembuatan masalah/soal sendiri oleh murid berdasarkan stimulus yang diberikan dalam situasi bebas, semi terstruktur dan terstruktur.
 
B Pelaksanaan problem posing dalam pembelajaran
Pendekatan problem posing dapat dilakukan secara individu atau kelompok (classical), berpasangan (in pairs) atau secara berkelompok (groups). Masalah matematika yang diajukan secara individu tidak memuat intervensi atau pemikiran dari murid yang lain. Masalah tersebut adalah murni sebagai hasil pemikiran yang dilatar belakangi oleh situasi yang diberikan. Masalah matematika yang diajukan oleh murid yang dibuat secara berpasangan dapat lebih berbobot, jika dilakukan dengan cara kolaborasi, utamanya yang berkaitan dengan tingkat keterselesaian masalah tersebut. Sama halnya dengan masalah matematika yang dirumuskan dalam satu kelompok kecil, akan menjadi lebih berkualitas manakala anggota kelompok dapat berpartsipasi dengan baik (Alif dan Hamzah, 2009).
Dalam pelaksanaannya dikenal beberapa jenis model problem posing antara lain:
  1. Situasi problem posing bebas, murid diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengajukan soal sesuai dengan apa yang dikehendaki. Murid dapat menggunakan fenomena dalam kehidupan sehari-hari sebagai acuan untuk mengajukan soal;
  2. Situasi problem posing semi terstruktur, murid diberikan situasi/informasi terbuka, kemudian murid diminta untuk mengajukan soal dengan mengkaitkan informasi itu dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Situasi dapat berupa gambar atau informasi yang dihubungkan dengan konsep tertentu.
  3. Situasi problem posing terstruktur, murid diberi soal atau selesaian soal tersebut, kemudian berdasarkan hal tersebut murid diminta untuk mengajukan soal baru.
English dalam Alif dan Hamzah (2009) membedakan dua macam situasi atau konteks, yaitu konteks formal bisa dalam bentuk simbol (kalimat matematika) atau dalam kalimat verbal, dan konteks informal berupa permainan dalam gambar atau kalimat tanpa tujuan khusus.
 
Pembelajaran dengan pendekatan problem posing mungkin bukan suatu hal yang baru dalam dunia pendidikan. Pendekatan ini pada awal tahun 2000 sempat menjadi kata kunci di setiap seminar pembelajaran, khususnya pembelajaran  matematika. Meskipun pendekatan ini lebih dikembangkan dalam pembelajaran matematika, namun belakangan ini pembelajaran fisika dan kimia juga menggunakan pendekatan ini dan tidak menutup kemungkinan pendekatan ini juga sudah dikembangkan dalam pembelajaran rumpun IPS dan bahasa.
 
Pembelajaran dengan pendekatan problem posing bisanya diawali dengan penyampaian teori atau konsep. Penyampaian materi biasanya menggunakan metode ekspositori. Setelah itu, pemberian contoh soal dan pembahasannya. Selanjutnya, pemberian contoh bagaimana membuat masalah dari masalah yang ada dan menjawabnya. Kemudian murid diminta belajar dengan problem posing. Mereka diberi kesempatan belajar induvidu atau berkelompok. Setelah pemberian contoh cara membuat masalah dari situasi yang tersedia, murid tidak perlu lagi diberikan contoh. Penjelasan kembali contoh, bagaimana cara mengajukan soal dan menjawabnya bisa dilakukan, jika sangat diperlukan.
 
Penerapan dan penilaian yang cukup sederhana dari pendekatan ini,  yaitu dengan cara murid diminta mengajukan soal yang sejenis atau setara dari soal yang telah dibahas. Dengan cara ini kita bisa melihat sejauh mana daya serap murid terhadap materi yang baru saja disampaikan. Cara yang seperti ini sangat cocok digunakan dalam pembelajaran untuk rumpun mata pelajaran MIPA. Melalui tugas membuat soal yang setara dengan soal yang telah ada, kita bisa mencermati bagaimana murid mengganti variabel-variabel yang dikatahui lalu mencari variabel yang ditanyakan.
 
Bagi murid yang memiliki daya nalar di atas rata, pendekatan seperti ini memberikan peluang untuk melakukan eksplorasi intelektualnya. Mereka akan tertantang untuk membuat tambahan informasi dari informasi yang tersediakan. Sehingga pertanyaan yang diajukan memiliki jawaban yang lebih kompleks. Sedangkan bagi anak yang berkemampuan biasa cara ini akan memberikan kemudahan untuk membuat soal dengan tingkat kesukaran sesuai dengan kemampuannya.
 
Pembelajaran dengan pendekatan problem posing dapat juga dimulai dari membaca daftar pertanyaan pada halaman soal latihan yang terdapat dalam buku ajar. Setelah itu baru membaca materinya. Cara ini berkebalikan dengan cara belajar selama ini. Tugas membaca yang diperintahkan pada murid biasanya bermula dari materi, lalu menjawab soal pada halaman latihan. Kelebihan membaca soal terlebih dahulu baru membaca materi, terletak pada fokus belajar murid. Ketika murid membaca pertanyaan terlebih dahulu, maka mereka akan berusaha untuk mencari jawaban dari pernyaan yang telah mereka baca. Tapi lain masalahnya ketika dibalik. Bila membaca materi terlebih dahulu, maka ketika sampai pada bagian soal latihan, ada kemungkinan murid akan membacanya kembali atau membuka-buka bagian yang telah dibaca untuk menjawab soal yang ada. Sehingga waktu yang dibutuhkan untuk cara belajar membaca materi terlebih dahulu, lebih banyak dibandingkan dengan cara belajar membaca soalnya setelah itu baru membaca materinya.
 
Alif dam Hamzah (2009: 9-10) menyatakan bahwa “langkah-langkah dalam pembelajaran dengan pendekatan problem posing adalah adanya kegiatan perumusan soal yang dibuat oleh setiap murid setelah selesai pembahasan suatu materi”. Terlebih dahulu guru memberi contoh tentang cara membuat soal dan memberikan beberapa situasi (informasi) yang berkenaan dengan materi pembelajaran yang sudah disajikan. Selanjutnya berdasarkan situasi tersebut murid diminta untuk membuat soal yang berkaitan dengan situasi tersebut dan diminta untuk menyelesaikan soal mereka sendiri.
 
Adapun langkah-langkah pembelajaran menggunakan pendekatan problem posing adalah sebagai berikut:
  1. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran;
  2. Guru membentuk kelompok yang beranggotan 4-5 orang yang heterogen, baik kemampuan maupun jenis kelamin;
  3. Guru membagi materi yang berbeda untuk dirangkum, namun masih dalam konsep yang sama;
  4. Guru meminta masing-masing peserta didik membuat dua soal dari materi yang telah dibagikan tersebut pada lembar problem posing I;
  5. Peserta didik berdiskusi kelompok untuk mencari penyelesaian dari soal yang telah dibuat pada lembar problem posing I tersebut;
  6. Masing-masing kelompok menuliskan dua soal ke dalam lembar problem posing II dan ditukarkan pada kelompok lain secara berurutan atau zig-zag;
  7. Masing-masing kelompok berdiskusi mencarikan hasil/penyelesaian dari lembar problem posing II;
  8. Guru menunjuk satu kelompok untuk mempresentasikan hasil rangkuman yang telah dikerjakan dan membacakan soal yang tidak bisa dipecahkan di kelompoknya;
  9. Kelompok lain, sebagai audiensi yang punya hak untuk menyangkal, bertanya dan memberikan masukan, sehingga pembelajaran berlangsung hangat dan guru hanya berperan sebagai moderator;
  10. Berdiskusi kelas membahas soal dari lembar problem posing I;
  11. Guru dan peserta didik membuat kesimpulan;
  12. Guru memberikan tugas rumah.
D. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran problem posing
Silver dalam Alif dan Hamzah (2009: 10-11) menyatakan bahwa istilah problem posing umumnya digunakan pada tiga bentuk kegiatan yang bersifat metematis, yaitu:
  1. Sebelum pengajuan solusi, yaitu satu pengembangan masalah awal dari situasi stimulus yang diberikan;
  2. Dalam pengajuan solusi, yaitu merumuskan kembali masalah agar menjadi lebih mudah untuk diselesaikan;
  3. Setelah pengajuan solusi, yaitu memodifikasi tujuan atau kondisi dari masalah yang sudah diselesaikan untuk merumuskan masalah baru.
Ketika membuat soal (problem posing) berdasarkan situasi yang tersedia, murid terlibat secara aktif dalam belajar. Situasi yang diberikan dibuat sedemikian hingga berkaitan dengan pengetahuan yang telah dimiliki murid. Situasi diproses dalam benak murid selanjutnya murid akan membuat soal sesuai dengan pengetahuan dan pengalamannya. Pengetahuan tentang bagaimana memahami soal, secara tidak langsung, terinternalisasi dalam proses pembuatan soal yang dijalani murid. Problem posing dapat membantu murid dalam mengembangkan dan meningkatkan kemampuan murid. Dalam pembelajaran diperlukan adanya penekanan dalam mengembangkan kemampuan murid untuk mengajukan soal, sehingga dapat meningkatkan penguasaan pembelajaran murid. Oleh karena itu, yang harus diperhatikan guru antara lain:
  1. Guru hendaknya membiasakan merumuskan soal baru atau memperluas soal dari soal-soal yang ada di buku pegangan;
  2. Guru hendaknya menyediakan beberapa situasi yang berupa informasi tertulis, benda manipulatif, gambar, atau lainnya, kemudian guru melatih murid merumuskan soal dengan situasi yang ada;
  3. Guru dapat menggunakan soal terbuka dalam tes;
  4. Guru memberikan contoh perumusan soal dengan beberapa taraf kesukaran, baik isi maupun bahasanya;
  5. Guru menyelenggarakan reciprocal teaching, yaitu pembelajaran yang berbentuk dialog antara guru dan murid mengenai isi buku teks, yang dilaksanakan dengan cara menggilir murid berperan sebagai guru (Sutiarso dalam Alif dan Hamzah, 2009).
Adapun petunjuk pembelajaran yang berkaitan dengan murid antara lain:
  1. Murid dimotivasi untuk mengungkapkan pertanyaan sebanyak-banyaknya terhadap situasi yang diberikan;
  2. Murid dibiasakan mengubah soal-soal yang ada menjadi soal yang baru sebelum mereka menyelesaikannya;
  3. Murid dibiasakan membuat soal-soal serupa setelah menyelesaikan soal tersebut;
  4. Murid harus diberi kesempatan untuk menyelesaikan soal-soal yang dirumuskan oleh temannya sendiri;
  5. Murid dimotivasi untuk menyelesaikan soal-soal non rutin (Sutiarso dalam Alif dan Hamzah, 2009).
 
DAFTAR PUSTAKA
 
Abdussakir. 2009. Pembelajaran Matematika dengan Problem Posing. Online. Http://abdussakir.wordpres.com
Alif dan Hamzah. 2009. Problem Posing. Online. Http://alifdan hamzah.blogspot.com.
Echols, J.M. dan Shadily, H. 1990. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Hajar, M.N. 2009. Problem Posing (Belajar dari Masalah Membuat Masalah). Online. Http:// h4j4r.multiply.com.
 

0 comments:

Post a Comment

◄ Posting Baru Posting Lama ►
 

Find Us On Facebook