Tuesday 4 October 2016

METODE PEMBELAJARAN KELOMPOK KECIL

http://pendidikanuntukindonesiaku2.blogspot.com/2016/10/metode-pembelajaran-kelompok-kecil.html
METODE PEMBELAJARAN KELOMPOK KECIL
 
METODE PEMBELAJARAN KELOMPOK KECIL
A. Definisi
Menurut Djamarah (2005: 163) bahwa “usaha meningkatkan peranan anak didik dan mengurangi peranan guru dalam proses interaksi edukatif yang terkenal dengan nama cara belajar siswa aktif. Di mana model mengajar kelompok kecil merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kadar CBSA”. Lebih lanjut Djamarah (2005: 164) mengemukakan bahwa “Pengelompokan anak didik dalam proses interaksi edukatif merupakan pembentukan organisasi sosial dalam pengajaran”. Ada tiga cara pengelompokan yang dapat dilakukan, yaitu : 1) atas dasar tugas-tugas khusus; 2) atas dasar dinamika proses kelompok di antara anak didik; dan 3) atas dasar pengalaman pembentukan kelompok yang telah dilakukan oleh guru dengan anak didik sebagai kelompok kerja.
Oleh karena itu, pengajaran kelompok kecil dapat dipahami sebagai suatu proses di mana setiap anak didik dibantu mengembangkan kemajuan dalam mencapai tujuan berdasarkan kemampuan, pendekatan, dan bahan pelajaran. Untuk itu guru harus mengenal betul anak didik, dapat memotivasi mereka, dan terlibat dalam kegiatan anak didik. Pengajaran kelompok kecil dapat dilaksanakan bila tiap anak didik memegang peranan penting dalam pemilihan tujuan, materi, prosedur, dan waktu yang diperlukan.
Adapun Mulyasa (2007: 92) dan Adikara (2008: 1) mengemukakan bahwa “model mengajar kelompok kecil merupakan suatu bentuk pembelajaran yang memungkinkan guru memberikan perhatian terhadap setiap peserta didik, dan menjalin hubungan yang lebih akrab antara guru dengan peserta didik maupun antara peserta didik dengan peserta didik”. Sementara itu Winkel (1996: 402) memberikan pandangan bahwa:
Kalau melalui tutoring pelajaran dapat seluruhnya disesuaikan dengan kebutuhan siswa, hal ini tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan dalam pengajaran kelompok siswa yang kecil, karena perbedaan-perbadaan yang terdapat di antara siswa. Namun, ciri-ciri pengajaran pada kelompok kecil, masih cukup mirip dengan tutoring dibanding dengan pengajaran kepada kelompok siswa yang besar.
 
Berdasarkan beberapan pandangan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode mengajar kelompok kecil adalah bentuk pembelajaran yang memungkinkan guru memberikan perhatian terhadap setiap peserta didik, dan menjalin hubungan yang lebih akrab antara guru dengan peserta didik maupun antara peserta didik dengan peserta didik.
 
B. Langkah Instruksional Metode Mengajar Kelompok Kecil
Untuk lebih efektifnya metode keterampilan mengajar kelompok kecil, maka harus dipahami terlebih dahulu langkah-langkah intruksionalnya (Winkel, 1996) sebagai berikut:
  1. Memberikan motivasi kepada para siswa dan menyadarkan siswa akan tujuan pembelajaran tidak akan terlalu sulit, karena dari ekspresi wajah dan komentar siswa dapat diketahui, apakah mereka semua bersedia melibatkan diri dalam proses belajar.
  2. Unsur-unsur pokok dalam materi pelajaran yang harus diperhatikan secara khusus, dapat ditunjukkan dengan jelas dan berulang-ulang kepada siswa.
  3. Membantu siswa untuk mencerna materi pelajaran dan mengolahnya, kadang-kadang dilakukan dengan cara yang sama untuk semua siswa, dan kadang-kadang berbeda sesuai dengan kebutuhan siswa.
  4. Bentuk prestasi yang diharapkan dapat dijelaskan dengan cukup leluasa, melalui penjelasan kepada kelompok.
  5. Umpan balik dapat segera diberikan kepada siswa stau per satu atau ‘wakil’ kelompok.
C. Keterampilan-keterampilan dalam Metode Mengajar Kelompok Kecil
Djamarah (2005: 165-170) mengemukakan bahwa:
Dalam mengajar kelompok kecil, guru bertindak sebagai operator dalam sistem tersebut. Untuk itu ada empat jenis keterampilan yang diperlukan, yaitu: 1) keterampilan mengadakan pendekatan secara pribadi; 2) keterampilan mengorganisasi; 3) keterampilan membim-bing dan membantu; dan 4) keterampilan kurikulum” 
Untuk lebih jelasnya bentuk-bentuk keterampilan tersebut dapat diketahui sebagai berikut:
 
1)  Keterampilan Mengadakan Pendekatan Secara Pribadi
Salah satu prinsip pengajaran kelompok kecil dan perorangan adalah terjadinya hubungan yang akrab dan sehat antara guru dan anak didik dan anak didik dengan anak didik. Hal ini dapat terwujud bila guru memiliki keterampilan berkomunikasi secara pribadi dengan setiap anak didik. Untuk mencapai hal ini menurut Djamarah (2005: 165) yang harus dilakukan guru adalah:
  • Mendengarkan secara simpati dan menanggapi secara positif pikiran anak didik, dan membuat hubungan saling percaya.
  • Membantu anak didik dengan pendekatan verbal dan nonverbal.
  • Menbantu anak didik tanpa harus mendominasi atau mengambil ahli tugas.
  • Menerima perasaan anak didik sebagaimana adanya atau menerima perbedaannya dengan penuh perhatian.
  • Menangani anak didik dengan memberi rasa aman, penuh pengertian, bantuan, dan mungkin memberi beberapa alternatif pemecahan.
2) Keterampilan Mengorganisasi
Selama kegiatan kelompok kecil atau perorangan berlangsung, guru berperan sebagai organisator yang mengatur dan memonitor kegiatan dari awal hingga akhir. Dalam hal ini menurut Djamarah (2005: 165) guru memerlukan keterampilan sebagai berikut:
  • Orientasi pendahuluan untuk menetapkan tujuan, masalah atau tugas, untuk menentukan pembagian kerja sebelum pembagian kelompok dan perorangan dilakukan.
  • b) Membagi kegiatan yang meliputi menyiapkan tempat kerja, peralatan, prosedur, aturan, waktu yang digunakan, dan aspek-aspek khusus yang jelas untuk anak didik.
  • Mengatur pembagian kelompok secara tepat, diatur untuk tugas kegiatan dan menyediakan sumber-sumber yang dapat digunakan.
  • Mengkoordinasikan kemajuan diskusi dalam penggunaan materi dan sumber untuk membantu anak didik.
  • Membagi perhatian terhadap berbagai macam kegiatan, baik yang dikerjakan secara kelompok maupun perorangan.
  • Pada akhir kegiatan, membantu anak didik mengklasifikasi hasil dengan suatu kulminasi tugas kegiatan yang dapat berupa laporan atau tukar pengalaman dari semua anak didik. Kegiatan ini diakhiri dengan penutupan yang menyajikan sejumlah hasil yang relevan dengan waktu yang diberikan atau tahap kemajuan dan kesimpulan dari kegiatan belajar.
Dalam rangka memberikan kesempatan kepada anak didik untuk belajar dalam kelompok kecil maupun perorangan, diperlukan variasi pengorganisasian disertai dengan hal-hal yang perlu diperhatikan. Terdapat empat model variasi pengorganisasian mengajar kelompok kecil, namun yang dipilih dalam konteks penelitian ini adalah Model 2 (Djamarah, 2005: 167).
 
Pertemuan diawali dengan pengarahan atau penjelasan secara klasikal tentang materi, tugas serta cara yang digunakan. Setelah itu langsung bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang diakhiri dengan laporan kelompok.
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengorganisasian mengajar kelompok kecil adalah:
  • Bagi guru yang sudah biasa dengan pengajaran klasikal, sebaiknya dimulai dengan pengajaran kelompok, kemudian secara bertahap mengarah kepada pengajaran perorangan.
  • Tidak semua topik atau pokok bahasan dapat dipelajari secara efektif dalam kelompok kecil maupun perorangan. Hal-hal yang bersifat umum seperti pengarahan informasi umum sebaiknya diberikan dalam bentuk kelas besar.
  • Dalam pengajaran kelompok kecil, langkah pertama adalah mengorganisasi-kan anak didik, sumber, materi, ruangan, serta waktu yang diperlukan, dan diakhiri dengan kegiatan kulminasi yang dapat berupa rangkuman, pemantapan atau laporan.
  • Dalam pengajaran perorangan, guru harus mengenal anak didik secara pribadi sehingga kondisi belajar dapat diatur.
  • Kegiatan dalam pengajaran perorangan dapat dilakukan melalui paket belajar atau bahan yang telah disiapkan oleh guru.
3) Keterampilan Membimbing dan Membantu
  • Dalam membantu anak didik dalam memajukan kegiatan belajarnya dengan meminimalkan frustasi, guru perlu menggunakan berbagai variasi pemberian penguatan secara verbal dan nonverbal kepada kelompok dan perorangan.
  • Guru juga memerlukan pengembangan supervisi, termasuk di dalamnya memberi tanda kepada perorangan dan seluruh peserta untuk melihat apakah semuanya telah berjalan baik dan telah bekerja sesuai dengan tujuan.
  • Mengembangkan supervisi proses lanjut, dengan cara guru berkeliling sehingga sebagai narasumber dapat dimanfaatkan, memberi bantuan bila diperlukan, dan sebagai interaksi langsung guru dengan anak didik ialah memberi tutorial, melibatkan diri dalam kegiatan anak didik, sebagai pemimpin diskusi, atau sebagai katalisator untuk meningkatkan anak didik dalam belajar dan berpikir melalui pertanyaan, komentar, dan nasehat.
  • Tahap akhir dari keterampilan ini adalah mengadakan supervisi pemanduan yang memusatkan perhatian pada penilaian pencapaian tujuan dari berbagai kegiatan yang dilakukan dalam rangkan menyiapkan rangkuman dan pemantapan, sehingga anak didik saling belajar dan memperoleh wawasan yang menyeluruh. Ini dilakukan dengan mendatangi kelompok, menilai kemajuannya, dan menyiapkan mereka untuk mengikuti kegiatan akhir dengan cara yang efektif. Untuk maksud ini adalah dengan mengingatkan anak didik akan waktu yang masih tersisa untuk menyelesaikan tugas.
4) Keterampilan Kurikulum
Tujuan utama dari keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan adalah membantu atau menolong anak didik bekerja dalam kelompok kecil atau bekerja secara perorangan tanpa mengurangi pemahaman guru terhadap kurikulum. Guru harus dapat mendiagnosis kemampuan akademik anak didik, kekuatan menerima tugas, cara belajar, minat utama, dan disiplin anak didik, sehingga dapat menetapkan tugas yang harus dikerjakan, jenis paket belajar, tim tutor, simulasi yang dapat menuntun anak didik untuk bekerja bersama ataupun bekerja sendiri. Menurut Djamarah (2005: 170) agar semua dapat berjalan sempurna guru harus:
  • Menentukan tujuan umum pengajaran.
  • Menetapkan tujuan khusus pengajaran dalam bentuk tingkah laku.
  • Merencanakan program kegiatan belajar dan bertindak sebagai konsultan atau penasehat bila diperlukan.
  • Bertindak sebagai penyuluh kurikulum, artinya guru dapat mengevaluasi kembali hasil belajar anak didik. Tegasnya guru membantu anak didik menilai pencapaian dan kemajuannya sendiri. Ini berarti memberi kesempatan kepada anak didik untuk memperbaiki dirinya sendiri yang merupakan kerjasama guru dengan anak didik dalam situasi pendidikan yang manusiawi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa untuk suksesnya metode keterampilan mengajar menggunakan kelompok kecil akan sukses dan melahirkan proses pembelajaran yang berkualitas jika guru memiliki dan menguasai keterampilan yang kompleks yang melibatkan keterampilan dasar mengajar.
 
DAFTAR PUSTAKA
 
Adikara, Irvin. 2008. Mengajar Kelompok Kecil dan Perorangan. (Online). http/www.andikarablogspot.com. (diakses tanggal 01 Juli 2009)
Djamarah, S.B. 2005. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif; Suatu Pendekatan Teoritis Psikologis. Cetakan II. Edisi Revisi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Mulyasa, 2007. Menjadi Guru Profesional; Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: Rosdakarya.
Winkel, W.S. 1996. Psikologi Pengajaran. Jakarta: PT. Grasindo.
 

Thursday 18 February 2016

HAKIKAT PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

http://pendidikanuntukindonesiaku2.blogspot.com/2016/02/hakikat-pembelajaran-bahasa-indonesia_18.html
Hakikat Pembelajaran Bahasa Indonesia
Hakikat Pembelajaran Bahasa Indonesia
Bahasa merupakan salah satu kemampuan terpenting manusia yang memungkinkan ia unggul atas makhluk-makhluk lain di muka bumi, sehingga tidak ada tidak ada sistem komunikasi yang terintegrasi, mencakup ujaran, membaca dan menulis, melainkan sistem kebahasaan. Pada dasarnya setiap pengajaran bahasa bertujuan agar peserta didik atau para murid mempunyai keterampilan berbahasa. Menurut Tarigan (1991: 40) bahwa “Terampil dalam berbahasa meliputi empat hal, yakni: terampil menyimak, terampil berbicara, terampil menulis dan terampil membaca”. Keempatnya merupakan catur tunggal dalam pengajaran bahasa Indonesia. Keempat aspek tersebut dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu:  keterampilan yang bersifat menerima (reseptif) yang meliputi keterampilan membaca dan menyimak, dan keterampilan yang bersifat mengungkap (produktif) yang meliputi keterampilan menulis dan berbicara (Muchlisoh, 1992).

Pembelajaran bahasa Indonesia pada satuan pendidikan sekolah dasar dibagi dalam dua kelompok utama yakni peringkat pemula (kelas I–III) dan peringkat lanjutan (kelas IV–VI). Penerapan pembelajaran bahasa untuk kedua kelompok tersebut berbeda karena sasaran dan tujuan pengajarannyapun berbeda. Bagi peringkat pemula penguasaan keterampilan membaca–menulis permulaan dan menyimak–berbicara tingkat sederhana bertujuan untuk mengarahkan pada pelatihan penggunaan keterampilan berbahasa yang lebih kompleks dan mendekati kenyataan (Subana dan Sunarti, 2005).

Pembelajaran yang ditujukan untuk tingkat lanjutan (kelas IV–VI) dimaksud-kan untuk melatih dan mengembangkan penguasaan keterampilan berbahasa murid secara integral yang meliputi keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca dan keterampilan menulis. Keterampilan berbicara adalah suatu proses penyampaian pesan yang dilakukan secara lisan. Sebagai proses, di dalam kegiatan berbicara terdapat lima unsur yang terlibat, yaitu pembicara, isi pembicaraan, saluran, penyimak, dan tanggapan penyimak (Anonim, 2009).
Kemampuan bahasa yang dimiliki anak melalui tahap-tahap berikut ini:
  1. Tahap pralinguistik, yaitu fase perkembangan bahasa di mana anak belum mampu menghasilkan bunyi-bunyi yang bermakna. Bunyi yang dihasilkan seperti tangisan, rengekan, dekutan, dan celotehan hanya merupakan sarana anak untuk melatih gerak artikulatorisnya sampai ia mampu mengucapkan kata-kata yang bermakna.
  2. Tahap satu-kata, yaitu fase perkembangan bahasa anak yang baru mampu menggunakan ujaran satu-kata. Satu-kata itu mewakili ide dan tuturan yang lengkap.
  3. Tahap dua-kata, yaitu fase anak telah mampu menggunakan dua kata dalam pertuturannya.
  4. Tahap banyak-kata, yaitu fase perkembangan bahasa anak yang telah mampu bertutur dengan menggunakan tiga-kata atau lebih dengan penguasaan gramatika yang lebih baik (Anonim, 2009).
Adapun keterampilan menyimak dalam pembelajaran bahasa adalah suatu proses penerimaan pesan yang disampaikan oleh orang lain. Sebagai proses, kegiatan menyimak terdiri atas tahap penerimaan rangsangan lisan, pemusatan perhatian, serta pemahaman makna atas pesan yang disampaikan. Penyimak akan dapat menyimak dengan baik apabila ia memiliki kemampuan berkonsentrasi, menangkap bunyi tuturan, mengingat hal-hal penting, serta memahami unsur linguistik dan nonlinguistik secara memadai (Anonim, 2009).
 
Sedangkan keterampilan menulis dalam pembelajaran bahasa adalah proses penyampaian pesan kepada pihak lain secara tertulis. Sebagai proses, menulis terdiri atas tahap prapenulisan, menulis, dan pascapenulisan. Adapun keterampilan membaca merupakan proses penyampaian pesan secara tertulis dari pihak lain. Sebagai proses, membaca merupakan kegiatan pemaknaan yang terus-menerus berdasarkan apa yang tersaji dalam teks karangan serta pengetahuan yang dimiliki oleh pembacanya (Anonim, 2009).
 
Sementara untuk pembelajaran membaca permulaan diberikan di kelas I dan II dengan tujuan agar murid memiliki kemampuan memahami dan menyuarakan tulisan dengan intonasi yang wajar, sebagai dasar untuk dapat membaca lanjut. Pembelajaran membaca permulaan merupakan tingkatan proses pembelajaran membaca untuk menguasai sistem tulisan sebagai representasi visual bahasa. Tingkatan ini sering disebut dengan tingkatan belajar membaca (learning to read). Adapun membaca lanjut merupakan tingkatan proses penguasaan membaca untuk memperoleh isi pesan yang terkandung dalam tulisan.
 
Tingkatan ini disebut sebagai membaca untuk belajar (reading to learn). Kedua tingkatan tersebut bersifat kontinum, artinya pada tingkatan membaca permulaan yang fokus kegiatannya penguasaan sistem tulisan, telah dimulai pula pembelajaran membaca lanjut dengan pemahaman walaupun terbatas. Demikian juga pada membaca lanjut menekankan pada pemahaman isi bacaan, masih perlu perbaikan dan penyempurnaan penguasaan teknik membaca permulaan (Syafi’ie, 1999).
 
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2009. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Rendah. Online. http://pustaka.ut.ac.id.
Muchlisoh. 1992. Materi Pokok Bahasa Indonesia 3. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Subana & Sunarti, 2005. Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia. Bandung. Pustaka Setia.
Syafi’ie, I. 1999. Pengajaran Membaca di Kelas–kelas Awal Sekolah Dasar. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Pengajaran Bahasa Indonesia pada FPBS Universitas Negeri Malang. Malang: Universitas Negeri Malang.
 

Wednesday 17 February 2016

HAKIKAT PEMBELAJARAN IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial)


http://pendidikanuntukindonesiaku2.blogspot.com/2016/02/hakikat-pembelajaran-ips-ilmu.html
HAKIKAT PEMBELAJARAN IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial)

Secara etimologi, sosial berasal dari kata socious yang berarti lebih dari satu, penemanan, bergaul atau pergaulan sedangkan ilmu berasal dari kata logos yang berarti ilmu atau pengetahuan. Menurut Soekanto (1990: 4) bahwa:
Ilmu sosial adalah ilmu yang bersifat tidak pasti (inexact) karena menyangkut hakekat, fungsi, dan kedudukan manusia dalam kehidupannya baik secara individu maupun sebagai makhluk sosial (homo socious) yang senantiasa berubah-ubah.
 
Sementara itu Poerwadarminta (1986: 287) mengemukakan bahwa “ilmu pengetahuan sosial adalah suatu ilmu yang memiliki karakter tersendiri yang berbeda dengan ilmu-ilmu lainnya karena karakteristik dan perpaduan dari beberapa konsep antara lain, geografi, ekonomi, sosial, dan sejarah”.
 
Adapun Samlawi dan Maftuh (1999: 1) menyatakan bahwa:
Ilmu pengetahuan sosial merupakan mata pelajaran yang memadukan konsep-konsep dasar dari berbagai ilmu sosial yang disusun melalui pendekatan pendidikan dan psikologis serta kelayakan dan kebermaknaannya bagi siswa dan kehidupannya.
 
Berdasarkan beberapa pengertian tentang IPS di atas, maka dapat disimpulkan bahwa IPS adalah ilmu yang bersifat tidak pasti (inexact) karena menyangkut hakekat, fungsi, dan kedudukan manusia dalam kehidupannya baik secara individu maupun sebagai makhluk sosial (homo socious) yang senantiasa berubah-ubah.
 
B. Karakteristik dan Pendekatan Ilmu Pengetahuan Sosial
Setiap ilmu pengetahuan atau mata pelajaran memiliki karakteristik tersendiri, tidak terkecuali mata pelajaran ilmu pengetahuan sosial yang diajarkan di tingkat sekolah dasar. Ilmu pengetahuan sosial merupakan perpaduan atau gabungan dari berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial antara lain: ilmu sejarah, geografi, ilmu ekonomi, politik, pemerintahan, sosiologi, antropologi, dan psikologi sosial.
Materi ilmu pengetahuan sosial terdiri atas konsep, prinsip dan analisis yang erat kaitannya dengan perihal kehidupan manusia baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial. Menurut Samlawi dan Maftuh (1999: 4) bahwa “Struktur Ilmu Pengetahuan Sosial tersusun dalam tiga tingkatan dari yang paling sempit ke yang paling luas, yaitu (1) fakta, (2) konsep, dan (3) generalisasi”. Ketiga hal inilah yang membangun materi ilmu-ilmu sosial.
Di samping itu, ilmu pengetahuan sosial merupakan suatu materi pengajaran yang mengintegrasikan konsep-konsep terpilih dari ilmu-ilmu sosial dan humaniora untuk tujuan pembinaan warga negara yang baik. Melalui mata pelajaran IPS di Sekolah Dasar para siswa diharapkan dapat memiliki pengetahuan dan wawasan tentang konsep-konsep ilmu sosial dan humaniora, memiliki kepekaan dan kesadaran terhadap masalah sosial di lingkungannya, serta memiliki keterampilan mengkaji dan memecahkan masalah-masalah sosial tersebut. Melalui mata pelajaran IPS diharapkan para siswa dapat terbina menjadi warga negara yang baik dan bertanggung jawab.
Menurut Achmad (2005: 2) bahwa kajian ilmu pengetahuan sosial dikembangkan dengan menggunakan pendekatan , yaitu:
 
1) IPS sebagai pendidikan nilai (value education), yakni:
  • Mendidikkan nilai-nilai yang baik yang merupakan norma-norma keluarga dan masyarakat;
  • Memberikan klarifikasi nilai-nilai yang sudah dimiliki siswa;
  • Nilai-nilai inti/utama (core values) seperti menghormati hak-hak perorangan, kesetaraan, etos kerja, dan martabat manusia (the dignity of man and work) sebagai upaya membangun kelas yang demokratis.
2) IPS SD sebagai pendidikan multikultural (multicultural eduacation), yakni:
  • Mendidik siswa bahwa perbedaan itu wajar;
  • Menghormati perbedaan etnik, budaya, agama, yang menjadikan kekayaan budaya bangsa;
  • Persamaan dan keadilan dalam perlakuan terhadap kelompok etnik atau minoritas.
3) IPS SD sebagai pendidikan global (global education), yakni :
  • Mendidik siswa akan kebhinekaan bangsa, budaya, dan peradaban di dunia;
  • Menanamkan kesadaran ketergantungan antar bangsa;
  • Menanamkan kesadaran semakin terbukanya komunikasi dan transportasi antar bangsa di dunia;
  • Mengurangi kemiskinan, kebodohan dan perusakan lingkungan.
 
C. Tujuan dan Fungsi Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial
Ilmu pengetahuan sosial berfungsi mengembangkan kemampuan setiap peserta didik untuk memahami fenomena sosial dan lingkungan sekitarnya sebagai bentuk proses pembelajaran yang berbasis kompetensi. Pembelajaran IPS SD akan dimulai dengan pengenalan diri (self), kemudian keluarga, tetangga, lingkungan RT, RW, kelurahan/desa, kecamatan, kota/kabupaten, propinsi, negara, negara tetangga, kemudian dunia.
 
Murid SD akan memulai dari egosentris dirinya kemudian belajar dan berkembang dengan kesadaran akan ruang dan waktu yang semakin meluas, dan mencoba serta berusaha melakukan aktivitas yang berbentuk intervensi dalam dunianya. Maka dari itu menurut Farris dan Cooper (1994: 46) bahwa “pendidikan IPS adalah salah satu upaya yang akan membawa kesadaran terhadap ruang, waktu, dan lingkungan sekitar bagi anak”.
 
Menurut Achmad (2005: 2) sasaran yang hendak dicapai dalam pembelajaran IPS dengan model keterampilan proses diarahkan pada:
  1. Melatih cara berpikir siswa dalam memecahkan masalah melalui penyelidikan, pengkajian dan percobaan.
  2. Pengembangan aktivita kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil dan rasa ingin tahu.
  3. Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi melalui pembicaraan lisam, cetakan, grafik, peta dan diagram dalam penjelasan gagasan/ide.
Adapun tujuan pembelajaran IPS agar peserta didik memiliki kemampuan Achmad (2005: 2) sebagai berikut:
  1. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya.
  2. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial.
  3. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan.
  4. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama, dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, maupun global.
DAFTAR PUSTAKA
 
Achmad, A. 2005. Pembelajaran IPS Di Tingkat Sekolah Dasar. (http://Achmad.blogspot.com/2008/04/pembelajaranIPS.html).
Poerwadarminta. 1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Samlawi dan Maftuh. 1999. Konsep Dasar IPS. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Guru Sekolah Dasar.
Soekanto, S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.

Tuesday 16 February 2016

PENDEKATAN PROBLEM POSING

http://pendidikanuntukindonesiaku2.blogspot.com/2016/02/pendekatan-problem-posing.html
Pendekatan Problem Posing
Menurut Brown dan Walter dalam Alif dan Hamzah (2009: 4), pada tahun 1989 untuk pertama kalinya istilah problem posing diakui secara resmi oleh National Council of Teacher of Mathematics (NCTM) sebagai bagian dari national program for re-direction of mathematics education (program nasional reformasi pendidikan matematika). Selanjutnya istilah ini dipopulerkan dalam berbagai media seperti buku teks, jurnal serta menjadi saran yang konstruktif dan mutakhir dalam pembelajaran matematika.
Problem posing berasal dari bahasa Inggris, yang terdiri dari kata problem dan pose. Problem diartikan sebagai soal, masalah atau persoalan, dan pose yang diartikan sebagai mengajukan (Echols dan Shadily, 1990: 439 dan 448). Beberapa peneliti menggunakan istilah lain sebagai padanan kata problem posing dalam penelitiannya seperti pembentukan soal, pembuatan soal, dan pengajuan soal.
 
Suryanto dalam Alim dan Hamzah (2009: 5) mengemukakan bahwa “Problem posing merupakan istilah dalam bahasa Inggris, sebagai padanan katanya digunakan istilah ‘merumuskan masalah (soal)’ atau ‘membuat masalah (soal)’”. Sedangkan menurut Silver dalam Abdussakir (2009: 4-5) bahwa: Dalam pustaka pendidikan matematika, problem posing mempunyai tiga pengertian, yaitu: pertama, problem posing adalah perumusan soal sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana dan dapat dipahami dalam rangka memecahkan soal yang rumit (problem posing sebagai salah satu langkah problem solving). Kedua, problem posing adalah perumusan soal yang berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang telah dipecahkan dalam rangka mencari alternatif pemecahan lain (sama dengan mengkaji kembali langkah problem solving yang telah dilakukan). Ketiga, problem posing adalah merumuskan atau membuat soal dari situasi yang diberikan.
 
Sedangkan The Curriculum and Evaluation Standard for School Mathematics merumuskan secara eksplisit bahwa murid harus mempunyai pengalaman mengenal dan memformulasikan soal-soal (masalah) mereka sendiri. Lebih jauh The Professional Standards for Teaching Mathematics menyarankan hal yang penting bagi guru-guru untuk menyusun soal-soal mereka sendiri. Murid perlu diberi kesempatan merumuskan soal-soal dari hal-hal yang diketahui dan menciptakan soal-soal baru dengan cara memodifikasi kondisi-kondisi dari masalah-masalah yang diketahui tersebut (Alif dan Hamzah, 2009).
Terkait dengan situasi soal yang tersedia, Stoyanofa dalam Hajar (2001: 13) menjelaskan bahwa “menurut situasi yang tersedia, situasi Problem posing diklasifikasi menjadi situasi problem posing bebas, semi terstruktur dan terstruktur”. Pada situasi problem posing bebas, murid tidak diberikan suatu informasi yang harus dipatuhi. Murid diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk membentuk soal sesuai dengan apa yang dikehendaki. Murid bisa menggunakan fenomena dalam kehidupan sehari-hari sebagai acuan dalam pembentukan soal. Sedangkan untuk situasi yang semi terstruktur, murid diberi situasi atau informasi yang terbuka. Kemudian murid diminta untuk mencari/menyelidiki situasi tersebut dengan cara menggunakan pengetahuan yang telah dimiliki. Murid harus mengaitkan informasi tersebut dengan pengetahuan yang telah ia miliki selama ini. Situasi tersebut bisa berupa ganbar atau tabel mungkin bisa juga berupa cerita pendek. Adapun, situasi problem posing yang terstruktur, murid diberi masalah khusus (soal) atau selesaian dari soal. Kemudian berdasarkan hal tersebut, murid diminta untuk membentuk masalah/soal baru.
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dirumuskan pengertian problem posing adalah perumusan atau pembuatan masalah/soal sendiri oleh murid berdasarkan stimulus yang diberikan dalam situasi bebas, semi terstruktur dan terstruktur.
 
B Pelaksanaan problem posing dalam pembelajaran
Pendekatan problem posing dapat dilakukan secara individu atau kelompok (classical), berpasangan (in pairs) atau secara berkelompok (groups). Masalah matematika yang diajukan secara individu tidak memuat intervensi atau pemikiran dari murid yang lain. Masalah tersebut adalah murni sebagai hasil pemikiran yang dilatar belakangi oleh situasi yang diberikan. Masalah matematika yang diajukan oleh murid yang dibuat secara berpasangan dapat lebih berbobot, jika dilakukan dengan cara kolaborasi, utamanya yang berkaitan dengan tingkat keterselesaian masalah tersebut. Sama halnya dengan masalah matematika yang dirumuskan dalam satu kelompok kecil, akan menjadi lebih berkualitas manakala anggota kelompok dapat berpartsipasi dengan baik (Alif dan Hamzah, 2009).
Dalam pelaksanaannya dikenal beberapa jenis model problem posing antara lain:
  1. Situasi problem posing bebas, murid diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengajukan soal sesuai dengan apa yang dikehendaki. Murid dapat menggunakan fenomena dalam kehidupan sehari-hari sebagai acuan untuk mengajukan soal;
  2. Situasi problem posing semi terstruktur, murid diberikan situasi/informasi terbuka, kemudian murid diminta untuk mengajukan soal dengan mengkaitkan informasi itu dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Situasi dapat berupa gambar atau informasi yang dihubungkan dengan konsep tertentu.
  3. Situasi problem posing terstruktur, murid diberi soal atau selesaian soal tersebut, kemudian berdasarkan hal tersebut murid diminta untuk mengajukan soal baru.
English dalam Alif dan Hamzah (2009) membedakan dua macam situasi atau konteks, yaitu konteks formal bisa dalam bentuk simbol (kalimat matematika) atau dalam kalimat verbal, dan konteks informal berupa permainan dalam gambar atau kalimat tanpa tujuan khusus.
 
Pembelajaran dengan pendekatan problem posing mungkin bukan suatu hal yang baru dalam dunia pendidikan. Pendekatan ini pada awal tahun 2000 sempat menjadi kata kunci di setiap seminar pembelajaran, khususnya pembelajaran  matematika. Meskipun pendekatan ini lebih dikembangkan dalam pembelajaran matematika, namun belakangan ini pembelajaran fisika dan kimia juga menggunakan pendekatan ini dan tidak menutup kemungkinan pendekatan ini juga sudah dikembangkan dalam pembelajaran rumpun IPS dan bahasa.
 
Pembelajaran dengan pendekatan problem posing bisanya diawali dengan penyampaian teori atau konsep. Penyampaian materi biasanya menggunakan metode ekspositori. Setelah itu, pemberian contoh soal dan pembahasannya. Selanjutnya, pemberian contoh bagaimana membuat masalah dari masalah yang ada dan menjawabnya. Kemudian murid diminta belajar dengan problem posing. Mereka diberi kesempatan belajar induvidu atau berkelompok. Setelah pemberian contoh cara membuat masalah dari situasi yang tersedia, murid tidak perlu lagi diberikan contoh. Penjelasan kembali contoh, bagaimana cara mengajukan soal dan menjawabnya bisa dilakukan, jika sangat diperlukan.
 
Penerapan dan penilaian yang cukup sederhana dari pendekatan ini,  yaitu dengan cara murid diminta mengajukan soal yang sejenis atau setara dari soal yang telah dibahas. Dengan cara ini kita bisa melihat sejauh mana daya serap murid terhadap materi yang baru saja disampaikan. Cara yang seperti ini sangat cocok digunakan dalam pembelajaran untuk rumpun mata pelajaran MIPA. Melalui tugas membuat soal yang setara dengan soal yang telah ada, kita bisa mencermati bagaimana murid mengganti variabel-variabel yang dikatahui lalu mencari variabel yang ditanyakan.
 
Bagi murid yang memiliki daya nalar di atas rata, pendekatan seperti ini memberikan peluang untuk melakukan eksplorasi intelektualnya. Mereka akan tertantang untuk membuat tambahan informasi dari informasi yang tersediakan. Sehingga pertanyaan yang diajukan memiliki jawaban yang lebih kompleks. Sedangkan bagi anak yang berkemampuan biasa cara ini akan memberikan kemudahan untuk membuat soal dengan tingkat kesukaran sesuai dengan kemampuannya.
 
Pembelajaran dengan pendekatan problem posing dapat juga dimulai dari membaca daftar pertanyaan pada halaman soal latihan yang terdapat dalam buku ajar. Setelah itu baru membaca materinya. Cara ini berkebalikan dengan cara belajar selama ini. Tugas membaca yang diperintahkan pada murid biasanya bermula dari materi, lalu menjawab soal pada halaman latihan. Kelebihan membaca soal terlebih dahulu baru membaca materi, terletak pada fokus belajar murid. Ketika murid membaca pertanyaan terlebih dahulu, maka mereka akan berusaha untuk mencari jawaban dari pernyaan yang telah mereka baca. Tapi lain masalahnya ketika dibalik. Bila membaca materi terlebih dahulu, maka ketika sampai pada bagian soal latihan, ada kemungkinan murid akan membacanya kembali atau membuka-buka bagian yang telah dibaca untuk menjawab soal yang ada. Sehingga waktu yang dibutuhkan untuk cara belajar membaca materi terlebih dahulu, lebih banyak dibandingkan dengan cara belajar membaca soalnya setelah itu baru membaca materinya.
 
Alif dam Hamzah (2009: 9-10) menyatakan bahwa “langkah-langkah dalam pembelajaran dengan pendekatan problem posing adalah adanya kegiatan perumusan soal yang dibuat oleh setiap murid setelah selesai pembahasan suatu materi”. Terlebih dahulu guru memberi contoh tentang cara membuat soal dan memberikan beberapa situasi (informasi) yang berkenaan dengan materi pembelajaran yang sudah disajikan. Selanjutnya berdasarkan situasi tersebut murid diminta untuk membuat soal yang berkaitan dengan situasi tersebut dan diminta untuk menyelesaikan soal mereka sendiri.
 
Adapun langkah-langkah pembelajaran menggunakan pendekatan problem posing adalah sebagai berikut:
  1. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran;
  2. Guru membentuk kelompok yang beranggotan 4-5 orang yang heterogen, baik kemampuan maupun jenis kelamin;
  3. Guru membagi materi yang berbeda untuk dirangkum, namun masih dalam konsep yang sama;
  4. Guru meminta masing-masing peserta didik membuat dua soal dari materi yang telah dibagikan tersebut pada lembar problem posing I;
  5. Peserta didik berdiskusi kelompok untuk mencari penyelesaian dari soal yang telah dibuat pada lembar problem posing I tersebut;
  6. Masing-masing kelompok menuliskan dua soal ke dalam lembar problem posing II dan ditukarkan pada kelompok lain secara berurutan atau zig-zag;
  7. Masing-masing kelompok berdiskusi mencarikan hasil/penyelesaian dari lembar problem posing II;
  8. Guru menunjuk satu kelompok untuk mempresentasikan hasil rangkuman yang telah dikerjakan dan membacakan soal yang tidak bisa dipecahkan di kelompoknya;
  9. Kelompok lain, sebagai audiensi yang punya hak untuk menyangkal, bertanya dan memberikan masukan, sehingga pembelajaran berlangsung hangat dan guru hanya berperan sebagai moderator;
  10. Berdiskusi kelas membahas soal dari lembar problem posing I;
  11. Guru dan peserta didik membuat kesimpulan;
  12. Guru memberikan tugas rumah.
D. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran problem posing
Silver dalam Alif dan Hamzah (2009: 10-11) menyatakan bahwa istilah problem posing umumnya digunakan pada tiga bentuk kegiatan yang bersifat metematis, yaitu:
  1. Sebelum pengajuan solusi, yaitu satu pengembangan masalah awal dari situasi stimulus yang diberikan;
  2. Dalam pengajuan solusi, yaitu merumuskan kembali masalah agar menjadi lebih mudah untuk diselesaikan;
  3. Setelah pengajuan solusi, yaitu memodifikasi tujuan atau kondisi dari masalah yang sudah diselesaikan untuk merumuskan masalah baru.
Ketika membuat soal (problem posing) berdasarkan situasi yang tersedia, murid terlibat secara aktif dalam belajar. Situasi yang diberikan dibuat sedemikian hingga berkaitan dengan pengetahuan yang telah dimiliki murid. Situasi diproses dalam benak murid selanjutnya murid akan membuat soal sesuai dengan pengetahuan dan pengalamannya. Pengetahuan tentang bagaimana memahami soal, secara tidak langsung, terinternalisasi dalam proses pembuatan soal yang dijalani murid. Problem posing dapat membantu murid dalam mengembangkan dan meningkatkan kemampuan murid. Dalam pembelajaran diperlukan adanya penekanan dalam mengembangkan kemampuan murid untuk mengajukan soal, sehingga dapat meningkatkan penguasaan pembelajaran murid. Oleh karena itu, yang harus diperhatikan guru antara lain:
  1. Guru hendaknya membiasakan merumuskan soal baru atau memperluas soal dari soal-soal yang ada di buku pegangan;
  2. Guru hendaknya menyediakan beberapa situasi yang berupa informasi tertulis, benda manipulatif, gambar, atau lainnya, kemudian guru melatih murid merumuskan soal dengan situasi yang ada;
  3. Guru dapat menggunakan soal terbuka dalam tes;
  4. Guru memberikan contoh perumusan soal dengan beberapa taraf kesukaran, baik isi maupun bahasanya;
  5. Guru menyelenggarakan reciprocal teaching, yaitu pembelajaran yang berbentuk dialog antara guru dan murid mengenai isi buku teks, yang dilaksanakan dengan cara menggilir murid berperan sebagai guru (Sutiarso dalam Alif dan Hamzah, 2009).
Adapun petunjuk pembelajaran yang berkaitan dengan murid antara lain:
  1. Murid dimotivasi untuk mengungkapkan pertanyaan sebanyak-banyaknya terhadap situasi yang diberikan;
  2. Murid dibiasakan mengubah soal-soal yang ada menjadi soal yang baru sebelum mereka menyelesaikannya;
  3. Murid dibiasakan membuat soal-soal serupa setelah menyelesaikan soal tersebut;
  4. Murid harus diberi kesempatan untuk menyelesaikan soal-soal yang dirumuskan oleh temannya sendiri;
  5. Murid dimotivasi untuk menyelesaikan soal-soal non rutin (Sutiarso dalam Alif dan Hamzah, 2009).
 
DAFTAR PUSTAKA
 
Abdussakir. 2009. Pembelajaran Matematika dengan Problem Posing. Online. Http://abdussakir.wordpres.com
Alif dan Hamzah. 2009. Problem Posing. Online. Http://alifdan hamzah.blogspot.com.
Echols, J.M. dan Shadily, H. 1990. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Hajar, M.N. 2009. Problem Posing (Belajar dari Masalah Membuat Masalah). Online. Http:// h4j4r.multiply.com.
 

Sunday 14 February 2016

METODE PEMBELAJARAN BERMAIN KARTU BERSERI



http://pendidikanuntukindonesiaku2.blogspot.com/2016/02/metode-pembelajaran-bermain-kartu-berseri.html
bermain kartu berseri


 

Permainan bahasa merupakan perminan untuk memperoleh kesenangan dan untuk melatih keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca dan menulis).

Apabila suatu permainan menimbulkan kesenangan tetapi tidak memperoleh ketrampilan berbahasa tertentu, maka permainan tersebut bukan permainan bahasa. Sebaliknya, apabila suatu kegiatan melatih keterampilan bahasa tertentu, tetapi tidak ada unsur kesenangan maka bukan disebut permainan bahasa.

Sebuah permainan disebut permainan bahasa, apabila suatu aktivitas mengandung kedua unsur kesenangan dan melatih keterampilan berbahasa (membaca). Setiap permainan bahasa yang dilaksanakan dalam kegiatan pembelaja-ran harus secara langsung dapat menunjang tercapainya tujuan pembelajaran.

Anak-anak pada usia 6–8 tahun masih memerlukan dunia permainan untuk membantu menumbuhkan pemahaman terhadap diri mereka. Aktivitas permainan digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan pembelajaran dengan cara yang menyenangkan. Menurut Dewey (dalam Edu, 2009: 4) bahwa interaksi antara permainan dengan pembelajaran akan memberikan pengalaman belajar yang sangat penting bagi anak-anak.

Permainan dapat menjadi kekuatan yang memberikan konteks pembelajaran dan perkembangan masa kanak-kanak awal. Untuk itu perlu, diperhatikan struktur dan isi kurikulum sehingga guru dapat membangun kerangka pedagogis bagi permainan. Menurut Edu (2009: 4) bahwa struktur kurikulum terdiri atas:

1) Perencanaan yang mencakup penetapan sasaran dan tujuan.
2) Pengorganisasian, dengan mempertimbangkan ruang, sumber, waktu dan peran orang dewasa,
3) Pelaksanaan, yang mencakup aktivitas dan perencanaan, pembelajaran yang diinginkan.
4) Assesmen dan evaluasi yang meliputi umpan balik.
 
Di samping itu, menurut Edu (2009: 5-6) bahwa “kesuksesan metode bermain dalam pembelajaran bahasa, sangat ditentukan oleh keberadaan media, rencana strategi dan teknik”.

1) Media
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, guru dapat melakukan simulasi pembelajaran dengan menggunakan kartu berseri (flash card). Kartu-kartu berseri tersebut dapat berupa kartu bergambar, kartu huruf, kartu kata, dan kartu kalimat.

2) Strategi
Dalam pembelajaran membaca permulaan guru dapat menggunakan strategi bermain dengan memanfaatkan kartu-kartu huruf. Kartu-kartu huruf tersebut digunakan sebagai media dalam permainan menemukan kata. Murid diajak bermain dengan menyusun huruf-huruf menjadi sebuah kata yang berdasarkan teka-teki atau soal-soal yang dibuat oleh guru. Titik berat latihan menyusun huruf ini adalah keterampilan mengeja suatu kata.

3) Teknik
Dalam pembelajaran membaca teknis guru dapat menggunakan strategi permainan membaca, misalnya:
a) Cocokkan kartu.
b) Ucapkan kata itu.
c) Temukan kata itu.
d) Kontes ucapan.
e) Temukan kalimat itu.
f) Baca dan berbuat dan sebagainya.

Kartu-kartu kata maupun kalimat digunakan sebagai media dalam permainan kontes ucapan (mengucapkan atau melafalkan). Pelafalan kata-kata tersebut dapat diperluas dalam bentuk pelafalan kalimat bahasa Indonesia, yang dipentingkan dalam latihan ini adalah melatih murid mengucapkan bunyi-bunyi bahasa (vokal, konsonan, dan dialog) sesuai dengan daerah artikulasinya.

DAFTAR PUSTAKA
 
Edu, M.B. 2009. Membaca Permulaan dan Permainan Bahasa. (Online). http://mbahbrata-edu.blogspot.com. (diakses 01 Juli 2009).

Friday 12 February 2016

HAKIKAT HASIL BELAJAR

http://pendidikanuntukindonesiaku2.blogspot.com/2016/02/hakikat-hasil-belajar.html
hasil belajar

Belajar merupakan akumulasi proses yang bersifat individu, yang mengubah stimulasi yang datang dari lingkungan seseorang ke dalam sejumlah informasi yang selanjutnya dapat menyebabkan adanya hasil belajar dalam bentuk ingatan jangka panjang. Hasil-hasil belajar ini memberikan kemampuan melakukan berbagai penampilan. Kemampuan yang merupakan hasil belajar ini dapat dikategorikan sebagai bersifat praktis dan teoritis (Warsita, 2008).
Hasil belajar yang dicapai murid dapat dijadikan indikator untuk mengetahui tingkat kemampuan, kesanggupan, dan penguasaan materi belajar. Winkel (1996: 244) mengemukakan bahwa “dalam taksonomi Bloom, aspek belajar yang harus di ukur keberhasilannya adalah aspek kognitif, afektif dan psikomotorik sehingga dapat menggambarkan tingkah laku menyeluruh sebagai hasil belajar murid”. Ketiga aspek tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sejalan dengan intisari pendapat Warsita di atas adalah apa yang dikemukakan Sudjana, N. (1995: 22) bahwa “hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki murid setelah ia menerima pengalaman belajarnya”. Lebih luas mengenai hasil belajar yang dikemukakan Suprayekti (2003: 4-5) bahwa:
  1. Hasil belajar ranah kognitif berorientasi pada kemampuan “berpikir”, mencakup kemampuan yang lebih sederhana sampai dengan kemampuan untuk memecahkan suatu masalah.
  2. Hasil belajar ranah afektif berhubungan dengan “perasaan”, ”emosi”, ”sistem nilai” dan “sikap hati” yang menunjukkan peneri-maan atau penolakan terhadap sesuatu.
  3. Hasil belajar ranah psikomotorik berorientasi pada keterampilan motorik yang berhubungan dengan anggota tubuh, atau tindakan yang memerlukan koordinasi antara syaraf dan otot.
Sementara Hamalik, O. (2006: 30) menyatakan bahwa “hasil belajar adalah bila seseorang telah belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti”.
Adapun menurut Dimyati dan Mudjiono (1999: 250-251) bahwa:
Hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi murid dan dari sisi guru. Dari sisi murid, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Tingkat perkembangan mental tersebut terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Sedangkan dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat terselesikannya bahan pelajaran.
 
Berdasarkan beberapa pengertian yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki murid setelah ia menerima pengalaman belajarnya, di mana kemampuan tersebut dapat berupa kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Selanjutnya, pengertian hasil belajar tersebut di atas diturunkan dalam bahasa operasional sesuai dengan konteks penelitian ini. Di mana hasil belajar yang dimaksud dibatasi pada penguasaan bahan ajar murid kelas IV yang diberikan dengan mengacu pada indikator pembelajaran yang telah disusun pada rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), yaitu skor hasil tes belajar murid setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar.
Pengukuran hasil belajar yang dilaksanakan saat berlangsungnya proses belajar mengajar, khususnya pada akhir pengajaran biasanya disebut tes formatif (Sudjana, N. 1995). Dari penelaahan terhadap evaluasi hasil belajar murid, guru dapat melihat kembali satuan pelajaran dan menelusuri tindakan yang dilakukannya pada waktu mengajar. Kesadaran guru mengenai fungsi hasil belajar inilah yang menjadi salah satu instrumen dalam untuk meningkatkan kualitas hasil pendidikan. Secara lebih luas, hasil belajar tersebut dapat digunakan oleh para pengawas pendidikan untuk mengukur atau menilai sampai dimana keefektifan pengalaman mengajar, kegiatan dan metode-metode mengajar yang digunakan guru.
Di samping itu, hasil belajar yang dicapai murid dapat dijadikan indikator untuk mengetahui tingkat kemampuan, kesanggupan, penguasaan tentang materi belajar. Menurut Sudjana, N. (1995: 157-158) bahwa manfaat terhadap kajian hasil belajar, diantaranya:
  1. Memperbaiki program pengajaran pada masa berikutnya.
  2. Meninjau kembali dan memperbaiki tindakan mengajarnya dalam memilih dan menggunakan metode mengajar, mengembangkan kegiatan belajar murid, bimbingan belajar, tugas dan latihan.
  3. Mengulang kembali bahan pengajaran yang belum dikuasai para murid.
  4. Melakukan diagnosis kesulitan belajar murid sehingga ditemukan faktor penyebabnya.
C. Faktor yang mempengaruhi hasil belajar
Menurut Slameto (2003: 64) bahwa “secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan belajar itu dapat dibagi menjadi 2 bagian besar yaitu faktor internal dan faktor eksternal”.
1) Faktor internal
Faktor internal dapat diklasifikasikan dalam dua kategori besar, yaitu:
  • Faktor biologis (jasmaniah). Keadaan jasmani yang perlu diperhatikan, Pertama kondisi fisik yang normal atau tidak memiliki cacat sejak dalam kandungan sampai sesudah lahir. Kondisi fisik normal ini terutama harus meliputi keadaan otak, panca indera, anggota tubuh. Kedua, kondisi kesehatan fisik. Kondisi fisik yang sehat dan segar sangat mempengaruhi keberhasilan belajar. Di dalam menjaga kesehatan fisik, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain makan dan minum yang teratur, olahraga serta cukup tidur.
  • Faktor psikologis; Faktor psikologis yang mempengaruhi keberhasilan belajar ini meliputi segala hal yang berkaitan dengan kondisi mental seseorang. Kondisi mental yang dapat menunjang keberhasilan belajar adalah kondisi mental yang mantap dan stabil. Faktor psikologis ini meliputi hal-hal berikut. Pertama, intelegensi. Intelegensi atau tingkat kecerdasan dasar seseorang memang berpengaruh besar terhadap keberhasilan belajar seseorang. Kedua, kemauan. Kemauan dapat dikatakan faktor utama penentu keberhasilan belajar seseorang. Ketiga, bakat. Bakat ini bukan menentukan mampu atau tidaknya seseorang dalam suatu bidang, melainkan lebih banyak menentukan tinggi rendahnya kemampuan seseorang dalam suatu bidang.
2) Faktor eksternal
Faktor eksternal dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori besar, yaitu:
  • Faktor lingkungan keluarga; Faktor lingkungan rumah atau keluarga ini merupakan lingkungan pertama dan utama pula dalam menentukan keberhasilan belajar seseorang. Suasana lingkungan rumah yang cukup tenang, adanya perhatian orangtua terhadap perkembangan proses belajar dan pendidikan anak-anaknya maka akan mempengaruhi keberhasilan belajarnya.
  • Faktor lingkungan sekolah; Lingkungan sekolah sangat diperlukan untuk menentukan keberhasilan belajar murid. Hal yang paling mempengaruhi keberhasilan belajar para murid disekolah mencakup metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan murid, relasi murid dengan murid, pelajaran, waktu sekolah, tata tertib atau disiplin yang ditegakkan secara konsekuen dan konsisten.
  • Faktor lingkungan masyarakat; Seorang murid hendaknya dapat memilih lingkungan masyarakat yang dapat menunjang keberhasilan belajar. Masyarakt merupkan faktor ekstern yang juga berpengruh terhadap belajar murid karena keberadannya dalam masyarakat. Lingkungan yang dapat menunjang keberhasilan belajar diantaranya adalah, lembaga-lembaga pendidikan nonformal, seperti kursus bahasa asing, bimbingan tes, pengajian remaja dan lain-lain.
Dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar seseorang dan dapat mencegah murid dari penyebab-penyebab terhambatnya pembelajaran.
 
Menurut Mulyasa (2007: 97) bahwa untuk meningkatkan hasil belajar murid maka diperlukan prinsip-prinsip pembelajaran, antara lain:
 
  1. Pembelajaran perlu lebih menekankan pada pembelajaran individual meskipun dilaksanakan secara klasikal, dalam pembelajaran perlu diperhatikan perbedaan peserta didik.
  2. Perlu diupayakan lingkungan belajar yang kondusif, dengan metode belajar dan media yang bervariasi yang memungkinkan setiap peserta didik mengikuti kegiatan belajar dengan tenang dan menyenangkan.
  3. Dalam pembelajaran perlu diberikan waktu yang cukup, terutama dalam penyelesaian tugas belajar agar setiap peserta didik dapat mengerjakan tugas belajar dengan baik.
Sedangkan menurut Abdurrahman (1993: 109) bahwa “untuk mengembangkan hasil belajar murid, maka hendaknya pelajaran dikemas dalam suasana menantang, merangsang dan menggugah daya cipta murid untuk menemukan dan mengesankan”. Ada beberapa prinsip yang dapat digunakan dalam mengembangkan hasil belajar, antara lain:
 
1) Prinsip motivasi
Menurut Abdurrahman (1993: 109) bahwa “Prinsip motivasi dimaksudkan untuk merangsang daya dorong pribadi murid melakukan sesuatu (motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik)”. Untuk motivasi intrinsik, gairahkanlah perasaan ingin tahu anak, keinginan mencoba dan hasrat untuk lebih memajukan hasil belajar.
2) Prinsip latar atau konteks
Murid akan terangsang mempelajari sesuatu jika mengetahui adanya hubungan langsung pada hal-hal yang sudah diketahui sebelumnya. Guru hendaknya mengetahui apa kira-kira pengetahuan, keterampilan, sikap dan pengalaman yang sudah dimiliki murid, sehingga menurut Abdurrahman (1993: 110) “Dengan pengetahuan latar ini, guru dapat mengembangkan kemampuan dan hasil belajar murid”
3) Prinsip sosialisasi
Kegiatan belajar bersama dalam kelompok perlu dikembangkan di kalangan murid, karena hasil belajar akan lebih baik. Pengelompokan murid dapat dilakukan dengan pendekatan kemampuan, tempat tinggal, jenis kelamin, dan minat. Setiap kelompok diberi tugas yang berbeda dari sumber yang sama.
4) Prinsip belajar sambil bekerja
Bekerja merupakan tuntutan menyatakan diri untuk berprestasi pada diri anak, karena itu berilah kesempatan mengembangkan kemampuan dan hasil belajarnya melalui kegiatan bekerja sambil belajar atau belajar sambil bekerja.
 
Salah satu keberhasilan proses belajar mengajar dapat dilihat dari hasil belajar yang dicapai oleh murid. Menurut Sudjana, N. (1995: 62) bahwa kriteria yang dapat digunakan untuk mengukur peningkatan hasil belajar adalah:
  1. 1) Perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku murid setelah menyelesaikan pengalaman belajarnya.
  2. 2) Kualitas dan kuantitas penguasaan kompetensi dasar oleh para murid.
  3. 3) Jumlah murid yang dapat mencapai kompetensi dasar minimal 75% dari yang harus dicapai.
  4. 4) Hasil belajar tahan lama diingat dan dapat digunakan sebagai dasar dalam mempelajari bahan berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
 
Abdurrahman, 1993. Pengelolaan Pengajaran. Ujung Pandang: PT. Bintang Selatan.
Dimyati dan Mudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Hamalik, O. 2004. Proses Belajar Mengajar. Bandung: Bumi Aksara.
Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta. h. 64.
Sudjana, N. 1995. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Cetakan Kelima. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Suprayekti. 2003. Interaksi Belajar Mengajar. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Tenaga Kependidikan.
Warsita, B. 2008. Teknologi Pembelajaran; Landasan dan Aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta.
 

Wednesday 10 February 2016

KETERAMPILAN MEMBACA

http://pendidikanuntukindonesiaku2.blogspot.com/2016/02/keterampilan-membaca.html
KETERAMPILAN MEMBACA
 

A. Pengertian membaca
Membaca merupakan suatu kemampuan yang sangat dibutuhkan, namun ternyata tidak mudah untuk menjelaskan hakikat membaca. A.S. Broto dalam Abdurrahman (1999: 200) mengemukakan bahwa “membaca bukan hanya mengucapkan bahasa tulisan atau lambang bunyi bahasa, melainkan juga menanggapi dan memahami isi bahasa tulisan”. Dengan demikian, membaca pada hakikatnya merupakan suatu bentuk komunikasi tulis.

Soedarso dalam Abdurrahman (1999: 200) mengemukakan bahwa “membaca merupakan aktivitas kompleks yang memerlukan sejumlah besar tindakan terpisah-pisah, mencakup penggunaan pengertian, khayalan, pengamatan, dan ingatan”. Adapun Bond dalam Abdurrahman (1999: 200) mengemukakan bahwa “membaca merupakan pengenalan simbol-simbol bahasa tulis yang merupakan stimulus yang membantu proses mengingat tentang apa yang dibaca, untuk membangun suatu pengertian melalui pengalaman yang telah dimiliki”.

Bertolak dari berbagai definisi membaca yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa membaca merupakan aktifitas kompleks yang mencakup fisik dan mental. Aktifitas fisik yang terkait dengan membaca adalah gerak mata dan ketajaman penglihatan. Adapun aktifitas mental mencakup ingatan dan pemahaman. Orang dapat membaca dengan baik jika mampu melihat huruf-huruf dengan jelas, mampu menggerakkan mata secara lincah, mengingat simbol-simbol bahasa dengan tepat, dan memiliki penalaran yang cukup untuk memahami bacaan.

Meskipun tujuan akhir membaca adalah untuk memahami isi bacaan, namun tujuan semacam itu belum dapat sepenuhnya dicapai oleh anak-anak, terutama pada saat awal belajar membaca. Banyak anak yang dapat membaca secara lancar suatu bahan bacaan tetapi tidak memahami isi bacaan tersebut. Ini menunjukkan bahwa kemampuan membaca bukan hanya terkait erat dengan kematangan gerak motorik mata tetapi juga perkembangan kognitif.

Menurut Haris sebagaimana dikutip Abdurrahman (1999: 201) bahwa “ada lima tahap perkembangan membaca, yaitu: a) kesiapan membaca, b) membaca permulaan, c) keterampilan membaca cepat, d) membaca luas, dan e) membaca yang sesungguhnya”.

Tahap perkembangan kesiapan membaca mencakup rentang waktu dari sejak dilahirkan hingga pelajaran membaca diberikan, umumnya pada saat masuk kelas satu SD. Kesiapan menunjuk pada taraf perkembangan yang diperlukan untuk belajar secara efisien. Abdurrahman (1999: 201) mengemukakan bahwa:

Ada delapan faktor yang memberikan sumbangan bagi keberhasilan belajar membaca, yaitu: 1) kematangan mental, 2) kemampuan visual, 3) kemampuan mendengarkan, 4) perkembangan wicara dan bahasa,  5) keterampilan berpikir dan memperhatikan, 6) perkembangan motorik, 7) kematangan sosial dan emosional, dan 8) motivasi dan minat.
 
Berdasarkan beberapa pengertian dan uraian di atas, maka membaca permulaan adalah proses memahami bahan bacaan yang dilakukan dengan mengaitkan aktivitas gerak mata dan ketajaman penglihatan dengan aktivitas ingatan dan pemahaman yang dimulai sejak anak masuk kelas satu SD, yaitu pada saat berusia sekitar enam tahun.
 
Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar (SD) bertujuan mening-katkan kemampuan murid berkomunikasi secara efektif, baik lisan maupun tertulis, baik dalam situasi resmi non resmi, kepada siapa, kapan, dimana, untuk tujuan apa. Bertumpu pada kemampuan dasar membaca dan menulis juga perlu diarahkan pada tercapainya kemahirwacanaan.
 
Pembelajaran membaca permulaan diberikan di kelas I dan II, yang bertujuan agar murid memiliki kemampuan memahami dan menyuarakan tulisan dengan intonasi yang wajar, sebagai dasar untuk dapat membaca lanjut. Sebagai gambaran umum tujuan membaca permulaan yang ingin dicapai dalam pembelajaran bahasa Indonesia bagi murid tingkat pemula (kelas I-II) sebagaimana dikemukakan Subana dan Sunarti (2005: 268-269) adalah:
  1. Sikap dan posisi duduk yang wajar (jarak mata – buku).
  2. Meletakkan buku bacaan dengan benar.
  3. Memegang dan membuka buku dari kanan ke kiri, sedangkan melihat dari atas ke bawah.
  4. Membaca nyaring teks yang akrab dan dekat dengan lingkungan anak dengan kata-kata dan kalimat sederhana, serta memperhatikan ketepatan lafal dan intonasi.
  5. Meletekkan buku tulis dengan cara yang betul.
  6. Menyalin / menjiplak huruf  atau kata melalui contoh dari guru.
  7. Melemaskan tangan (menulis di udara), latihan dasar menulis (garis tegak, miring, lurus, lengkung).
  8. Memegang alat tulis dengan cara yang betul.
  9. Menulis kata, kalimat sederhana dengan menggunakan huruf yang sudah dikenal serta kombinasi baru huruf-huruf tersebut (ani – ina ; ibu – ubi).
 
Menurut Edu (2009: 2) bahwa “membaca permulaan merupakan suatu proses keterampilan dan kognitif”. Proses keterampilan menunjuk pada pengenalan dan penguasaan lambang-lambang fonem, sedangkan proses kognitif menunjuk pada penggunaan lambang-lambang fonem yang sudah dikenal untuk memahami makna suatu kata atau kalimat.

Pembelajaran membaca permulaan merupakan tingkatan proses pembelajaran membaca untuk menguasai sistem tulisan sebagai representasi visual bahasa. Tingkatan ini sering disebut dengan tingkatan belajar membaca (learning to read). Membaca permulaan merupakan tahapan proses belajar membaca bagi murid sekolah dasar kelas awal. Murid belajar untuk memperoleh kemampuan dan menguasai teknik-teknik membaca dan menangkap isi bacaan dengan baik. Oleh karena itu guru, perlu merancang pembelajaran membaca dengan baik sehingga mampu menumbuhkan kebiasan membaca sebagai suatu yang menyenangkan.
 
DAFTAR PUSTAKA
 
Abdurrahman, M. 1999. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Cetakan Pertama. Jakarta: PT. Rineka Cipta dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Edu, M.B. 2009. Membaca Permulaan dan Permainan Bahasa. (Online). http://mbahbrata-edu.blogspot.com. (diakses 01 Juli 2009).
Subana & Sunarti, 2005. Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia. Bandung: Pustaka Setia.
Posting Lama ►
 

Find Us On Facebook

Copyright 2012 Pendidikan Untuk Indonesiaku 2 Template by Bamz Templates